A. PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pemerintah yang bersih dan demokratis
merupakan simbol keniscayaan dari berlakunya nilai-nilai demokrasi dan
masyarakat madani pada level kekuasaan. Nilai –nilai masyarakt madani tidak
hanya di kembangkan dalam masyarakat individu dan keluarga tetapi juga harus
dikembangkan pada level Negara,sehingga
sistem kenegaraan yang dibangun menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,dalam
perwujudan masyarakat madani termasuk sistem pemerintahan demokratis dan
bersih.
Dalam era menuju demokrasi di Indonesia negara
yang selama ini hegomonik atas kekuatan sipil (masyarakat) , sudah
saatnya mengembangkan budaya demokrasi. Wacana demokrasi dan masyarakat madani
sudah cukup merata di kalangan masyarakat (LSM, Sekolah, Perguruan Tinggi,
Ormas, Dll) .wacana ini diharapkan bisa memacu perubahan sosial kearah yang
demokratis .
2.
Rumusan Masalah
a.
Bagaimana konsep Pendidikan anti
korupsi
1)
Pengertian n
2)
Asal-usul negara
3)
Tujuan negara
4)
Fungsi negara
5)
Unsur-unsur negara
6)
Bentuk-bentuk negara
b.
Bagaiman konsep Good Governance
1)
Pengertian Good Governance
2)
Prinsip-prinsip Good Governance
3)
Good Governance dan kontak
sosial
4)
Permasalahan di Indonesia
3.
Tujuan Pembahasan
a.
Kita dapat mengetahui dan memahami
konsep pendidikan anti korupsi dan Good Governance.
b.
Dapat mengetahui dan memahami kedua
hal tersebut sehingga mampu
mengaplikasikan bagaimana menjadi warga negara yang baik.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan Anti Korupsi
a.
Pengertian Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari
beberapa kata asing, yakni staat (Belanda dan Jerman), state
(Inggris) dan etat (Prancis). Adapun beberapa kata tersebut diambil dari
bahasa latin yaitu “status” atau “statum”, yang secara etimologi
berarti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat
yang tegak dan tetap.
Sedangkan secara terminologi, negara diartikan
sebagai organisasi tertinggi diantara satu kelompok masyarakat yang memiliki
cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan tertentu dan memiliki
pemerintah yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang
pada galibnya dimiliki oleh negara berdaulat (masyarakat; rakyat, wilayah dan
pemerintahan yang berdaulat).
b. Asal
Mula Terjadinya Negara
1) Secara Primer (Agan, Sulaiman. http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html)
Terjadinya negara secara primer adalah
bertahap yaitu dimulai dari adanya masyarakat hukum yang paling sederhana,
kemudian berevolusi ketingkat yang lebih maju dan tidak dihubungkan dengan
negara yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian terjadinya negara secara
primer adalah membahas asal mula terjadinya negara yang pertama di dunia.
Di samping itu untuk mempelajari asal mula
terjadinya negara yang pertama dapat pula menggunakan pendekatan teoritis yaitu
suatu pendekatan yang didasarkan kerangka pemikiran logis yang hipotesanya
belum dibuktikan secara kenyataan.
Atas dasar pendekatan tersebut, ada beberapa
teori tentang asal mula terjadinya negara: (http://cuapcuaplaila.blogspot.com/2011/03/tugas-dan-materi-pendidikan.html)
a)
Teori Kontrak Sosial (Social
Contract)
Teori kontrak
sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa Negara dibentuk
berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat
Barat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara
tiranik, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara
warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini antara lain:
(1)
Thomas Hobbes (1588-16 79)
Menurut Hobbes
kehidupan manusia terpisah dalam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada
negara, atau keadaan alamiah (statusnaturalis, state of nature) dan keadaan
setelah ada negara. Bagi Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang
aman dan sejahtera, tetapi sebaliknya, keadaan alamiah itu merupakan suatu
keadaan social yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah dan tanpa
ikatan-ikatan sosial antar individu di dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes,
dibutuhkan kontrak atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup
dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua hak-hak kodrat yang
dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan yang disebut negara.
Namun demikian, bagi Hobbes hanya terdapat
satu macam perjanjian, yakni pactum subjectionis atau suatu perjanjian untuk
menyerahkan semua hak-hak kodrat sekaligus pemberian kekuasaan secara penuh
agar tidak dapat ditandingi oleh kekuasaan apapun (Non est potestas Super
Terram quae Comparator ei.)
(2)
John Locke (163 2-17 04)
Berbeda dengan
Hobbes yang melihat keadaan alamiah sebagai suatu keadaan yang kacau, Locke
melihatnya sebagai suatu keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling
menolong antara individu-individu di dalam sebuah kelompok masyarakat.
Sekalipun keadaan alamiah dalam pandangan Locke merupakan sesuatu yang ideal,
ia berpendapat bahwa keadaan ideal tersebut memiliki potensial terjadinya
kekacauan lantaran tidak adanya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur
kehidupan mereka. Disini unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi
menghindari konflik di antara warga negara.
Namun demikian menurut Locke, penyelenggara
negara atau pimpinan negara harus dibatasi melalui suatu kontrak sosial. Dasar
pemikiran kontrak sosial antara negara dan warga negara dalam pandangan Locke
ini merupakan suatu peringatan bahwa kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak pernah
mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal ini disebabkan karena dalam melakukan
perjanjian individu-individu warga negara tersebut tidak menyerahkan seluruh
hak-hak alamiah mereka. Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang merupakan
hak-hak asasi warga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh
masing-masing individu.
Bersandar pada pandangan ini, Locke
menambahkan kontrak pactum subjectionis, seperti yang telah dirumuskan oleh
Hobbes diatas, dengan apa yang ia sebut dengan istilah pactum unionis, atau
suatu perjanjian warga negara untuk bergabung dengan suatu komunitas demi
memperoleh kenyamanan, keamanan, kedamaian dalam hidup bersama. Pandangan ini
Locke ini bersandar pada prinsip bahwa semua manusia dilahirkan bebas, sama,
dan merdeka dimana tidak ada satu kekuatan pun di dunia, termasuk kekuatan
politik misalnya, dapat merampas keadaan alamiah manusia tersebut.
Dasar pemikiran kontrak sosial antara negara
dan warga Negara dalam pandangan Locke ini merupakan suatu peringatan babwa
kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Hal
ini disebabkan karena dalam melakukan perjanjian individu-individu warga negara
tersebut tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka. Terdapat hak-hak
alamiah yang merupakan hak-hak asasi warga Negara yang tidak dapat dilepaskan,
sekalipun oleh masing-masing individu.
(3)
Jean Jacques Rousseau (1712-1778)
Jika Hobbes
hanya mengenal pactum subjections dan Locke menggabungkan dua jenis perjanjian
dalam hubungan anatara warga negara dengan institusi negara, Jean Jacques
Rousseau hanya mengenal satu jenis perjanjian saja, yaitu hanya pactum unionis.
Perjanjian ini menurut Rosseau merupakan bentuk perjanjian masyarakat yang
sebenarnya. Rousseau tidak mengenal pactum subjectionis dalam pembentukkan
sebuah negara (pemerintahan) yang ditaati.
Perjanjian warga negara untuk mengikatkan diri
dengan suatu pemerintah dilakukan melalui organisasi politik. Menurutnya,
pemerintah tidak mempunyai dasar kontraktual, melainkan hanya organisasi
politiklah yang dibentuk melalui kontrak. Pemerintah sebagai pimpinan
organisasi negara dibentuk dan ditentukan oleh yang berdaulat dan merupakan
wakil-wakil dari warga negara (gecommitteerde). Yang berdaulat adalah rakyat
seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih dari sebuah komisi
atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.
Melalui pandangannya ini, Rousseau dikenal
sebagai peletak dasar bentuk negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat
melalui perwakilan organisasi politik mereka. Dengan kata lain, ia juga
sekaligus dikenal sebagai penggagas paham negara demokrasi yang bersumberkan
pada kedaulatan rakyat, yakni rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara
hanyalah merupakan wakil-wakil rakyat pelaksana mandat bersama.
b)
Teori Ketuhanan (Theokrasi)
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah
doktrin teokratis. Teori ini ditemukan baik di Timur maupun di belahan dunia
Barat. Doktrin ketuhanan ini memperoleh bentuknya yang sempurna dalam
tulisan-tulisan para sarjana Eropa pada abad pertengahan yang menggunakan teori
itu untuk membenarkan kekuasaan mutlak para raja.
Doktrin ini berpandangan bahwa hak memerintah
yang dimiliki para raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat Tuhan untuk
bertahta sebagai penguasa (Devine Rights of Kings). Mereka mengklaim sebagai
wakil Tuhan di dunia yang mempertanggung jawabkan kekuasaanny hanya kepada
Tuhan, bukan kepada manusia. Praktek kekuasaan model ini ditentang oleh
kalangan "monarchomach" (penentang raja). Menurut mereka, raja tiran
dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat dibunuh. Mereka beranggapan
bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
Dalam sejarah tata negara dalam Islam,
pandangan teokratis serupa pernah dijalankan oleh raja-raja Muslim sepeninggal
Nabi Muhammad. Dengan mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan atau
bayang-bayang Allah di dunia (kbalifatullah fi al-Ard, dzillullah fi al-Ard),
raja-raja tersebut umumnya menjalankan kekuasaannya secara tiran. Serupa dengan
para raja-raja di Eropa abad Pertengahan, raja-raja Muslim merasa tidak harus
mempertanggung-jawabkan kekuasaanya kepada rakyat, tetapi langsung kepada
Allah. Di sisi lain, rakyat diwajibkan taat secara total kepada raja. Faham
teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan doktrin politik Islam sebagai agama
sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah). Pandangan ini berkembang menjadi faham
dominan bahwa tidak ada pemisahan antara agama (church) dan negara (state)
dalam Islam, sebagaimana terjadi di dunia Barat yang menganut agama Kristen.
Sama halnya dengan pengalaman kekuasaan teokrasi di Barat, penguasa teokrasi
Islam menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti kerajaan. Dipengaruhi
pemikiran sekuler Barat, menurut pemikir Muslim modern dan kontemporer,
kekuasaan dalam Islam harus dipertanggungjawabkan baik kepada Allah maupun
rakyat.
c)
Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan
bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat, melalui penjajahan.
Menurut teori ini, kekuatan menjadi pembenaran (raison d'etre) dari
terbentuknya sebuah negara. Melalui proses penaklukan dan pendudukan oleh suatu
kelompok (etnis) atas kelompok tertentu dimulailah proses pembentukan suatu
negara. Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuatan
dimana sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara.
Teori ini berawal dari kajian antroplogis atas
pertikaian yang terjadi di kalangan suku-suku primitif, dimana si pemenang
pertikaian menjadi penentu utama kehidupan suku yang dikalahkan. Bentuk
penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah penaklukan dalam bentuk
pejajahan bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur. Setelah masa penjajahan
berahir di awal abad 20, di jumpai banyak negara-negara baru yang kemerdekaanya
banyak ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia dan Brunei Darussalam
dapat dikategorikan kelompok ini.
d)
Teori Hukum Alam
Menurut teori ini, terbentuknya negara dan
hukum dengan memandang manusia sebelum ada masyarakat hidup sendiri–sendiri.
Adapun para penganut teori hukum alam terdiri :
(1)
Masa Purba, seperti Plato dan
Aristoteles.
(2)
Masa Abad Pertengahan, seperti
Agustinus dan Thomas Aquinas.
(3)
Masa Rasionalisme, seperti penganut
teori perjanjian masyarakat.
PLATO :
Asal mula terjadinya negara sangat sederhana
antara lain :
(1)
Adanya keinginan manusia untuk
memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam menyebabkan mereka harus bekerjasama.
(2)
Mengingat manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya harus bekerjasama dengan orang lain, maka mengharuskan
manusia dalam menghasilkan sesuatu harus lebih untuk dipertukarkan.
(3)
Karena seringnya mereka saling
tukar menukar hasil dan sekaligus bergabung, maka terbentuklah desa.
(4)
Antara desa yang satu dengan desa
yang lain terjadi pula hubungan kerjasama, maka terbentuklah suatu masyarakat
negara.
ARISTOTELES :
Menurut Aristoteles, keberadaan manusia
menurut kodratnya adalah sebagai mahluk individu dan mahluk sosial. Asal mula
terbentuknya negara dapat digambarkan sebagai berikut:
KELUARGA ------> KELOMPOK ------> DESA
------> KOTA/NEGARA
2)
Terjadinya Negara Secara Sekunder (Agan,
Sulaiman.
http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html)
Terjadinya
negara secara sekunder adalah membahas terjadinya negara baru yang dihubungkan
dengan negara lain yang telah ada sebelumnya, berkaitan dengan hal tersebut maka
pengakuan negara lain dalam teori sekunder merupakan unsur penting berdirinya
suatu negara baru.
Untuk mengetahui terjadinya negara baru dapat
menggunakan pendekatan faktual yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada
kenyataan dan pengalaman sejarah yang benar–benar terjadi. Menurut kenyataan
sejarah, terjadinya suatu negara karena :
a)
Penaklukan/Pendudukan (Occupasi)
Suatu daerah
belum ada yang menguasai kemudian diduduki oleh suatu bangsa. Contoh : Liberia
diduduki budak–budak negro yang dimerdekakan tahun 1847.
b)
Pelepasan diri (Proklamasi)
Suatu daerah
yang semula termasuk daerah negara tertentu melepaskan diri dan menyatakan
kemerdekaannya. Contoh : Belgia melepaskan diri dari Belanda tahun 1839,
Indonesia tahun 1945, Pakistan tahun 1947 (semula wilayah Hindustan), Banglades
tahun 1971 (semula wilayah Pakistan), Papua Nugini tahun1975 (semula wilayah
Australia), 3 negara Baltik (Latvia, Estonia, Lituania) melepaskan diri dari
Uni Soviet tahun 199, dsb.
c)
Peleburan menjadi satu (Fusi)
Beberapa
negara mengadakan peleburan menjadi satu negara baru. Contoh : Kerajaan Jerman
(1871), Vietnam (1975), Jerman (1990), dsb.
d)
Aneksasi
Suatu
daerah/negara yang diambil alih (dicaplok) oleh bangsa lain, kemudian di
wilayah itu berdiri negara. Contoh : Israel tahun 1948.
e)
Pelenyapan dan pembentukan negara
baru
Suatu negara
pecah dan lenyap, kemudian diatas wilayah itu muncul negara baru. Contoh:
(1)
Colombia pecah menjadi Venezuella
dan Colombia Baru tahun 1832.
(2)
Jerman menjadi Jerman Barat dan
Jerman Timur tahun 1945.
(3)
Korea menjadi Korea Selatan dan
Korea Utara tahun 1945.
(4)
Vietnam menjadi Vietnam Utara dan
Vietnam Selatan tahun 1954.
(5)
Uni Soviet pecah/lenyap tahun 1992
kemudian muncul Rusia, Georgia, Kazakistan dsb.
(6)
Yugoslavia pecah tahun 1992
kemudian muncul Kroasia, Bosnia, Serbia (Yugoslavia Baru).
c.
Tujuan Negara
(http://herrypkn.blogspot.com/2012/07/pengertian-fungsi-dan-tujuan-negara_31.html)
Tujuan tanpa fungsi adalah steril, fungsi
tanpa tujuan adalah mustahil.[2] Setiap negara yang berdiri pasti
mempunyai tujuan tertentu. Dimana tujuan dari negara yang satu dengan yang lain
adalah berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh penguasa negara yang sedang
memerintah. Sebab negara berdiri bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama semua orang yang masuk dalam
organisasi negara tersebut.
Adapun tujuan negara bermacam-macam, antara
lain :
1)
Untuk memperluas kekuasaan
Ajaran negara
kekuasaan menyatakan bahwa kekuasaan berarti kebenaran, dan dengan
bertambahnya kekuasaan berarti akan bertambahnya kemajuan di lapangan lain.
Negara kekuasaan menghendaki agar negaranya menjaadi besar dan jaya. Untuk mencapai tujuannya maka rakyat dijadikan alat untuk
perluasan, kepentingan orang
perseorangan ada di bawah kepentingan bangsa dan negara.
2)
Untuk menyelenggarakan ketertiban
hukum
Negara
bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum segala kekuasaan dari alat-alat
pemerintahan berdasarkan atas hukum, semua orang harus tinduk kepada hukum,
sebab hukumlah yang berkuasa dalam negara tersebut.
3)
Untuk mencapai kesejahteraan umum
Negara bertujuan
ingin mewujudkan kesejahteraan umum. Negara dipandang sebagai alat yang
dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, yakni suatu tatanan masyarakat
yang di dalamnya ada kebahagiaan, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat negara itu.
Adapun tokoh yang mengemukakan tujuan negara
adalah :
1)
Aristoteles, negara bertujuan
menyelenggarakan hidup yang baik dari warga negaranya.
2)
Charles E. Miriam, tujuan negara
adalah mencapai keamanan, ketertiban, keadilan dan kesejahteraan umum.
3)
Plato, tujuan negara adalah
memajukan kesusilaan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk
sosial.
4)
Ibnu Arabi, tujuan negara yakni
manusia dapat menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan
menjaga intervensi pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep
sosiohistori bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan watak cenderungan
berkumpul dan bermasyarakat yang membawa konsekuensi individu-individu satu
sama lain saling membutuhkan bantuan. (Ubaedillah A.
dan Abdul Rozak, 2010, hlm. 84)
5)
Ibnu Khaldun, tujuan negara yaitu
untuk mengusahakan kemaslahatan agama dan dunia yang bermuara pada kepentingan
akhirat. (Ubaedillah A. dan Abdul Rozak,
2010, hlm. 84-85)
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara
adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara yang bertujuan untuk
melindungi segenap bangsa dan warga negaranya, mewujudkan kesejahteraan umum,
membentuk suatu masyarakat cerdas, adil dan makmur. (Ubaedillah A. dan Abdul
Rozak, 2010, hlm. 85)
d.
Fungsi Negara
Fungsi negara pada umumnya adalah sebagai
pengatur kehidupan dalam negara demi tercapainya tujuan negara tersebut. Adapun
Fungsi Negara secara umum adalah sebagai
berikut:[5]
1)
Sebagai Pertahanan
Negara bertanggung jawab melindungi
seluruh warga negara dan seluruh wilayahnya terhadap serangan atau ancaman dari
luar atau negara lain.
2)
Sebagai Keadilan
Negara wajib memperlakukan setiap
orang secara adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3)
Sebagai Keamanan dan Ketertiban
Negara menjaga keamanan dan
ketentraman dalam masyarakat serta mencegah bentrokan antarkelompok atau antar
individu.
4)
Sebagai Kesejahteraan dan
Kemakmuran Rakyatnya
Negara bertanggungjawab mewujudkan
kesejahteraan seluruh rakyat dan seluruh warga negaranya.
Fungsi negara dapat diartikan sebagai tugas
organisasi negara itu sendiri. Oleh karena itu, sesungguhnya tugas negara
secara umum adalah sebagai berikut: (http://herrypkn.blogspot.com/2012/07/pengertian-fungsi-dan-tujuan-negara_31.html)
1)
Tugas esensial
Adalah tugas
untuk mempertahankan negara sebagai organisasi politik yang berdaulat. Tugas
ini menjadi tugas negara (memelihara perdmaian, ketertiban, dan ketentraman
dalam negar serta melindungi hak milik dari setiap orang) dan tugaas eksternal
(mempertahankan kemerdekaan negara). Tugas essensial ini sering disebut tugas
asli dari negara sebab dimiliki oleh setiap pemerintah dari negara manapun di
dunia.
2)
Tugas fakultatif
Diselenggarakan
oleh negara untuk dapat memperbesar
kesejahteraan fakir miskin, kesehatan dan pendidikan rakyat.
e.
Unsur-unsur Negara (Ubaidillah. A.,
Abdul Rozak, 2010, hlm. 85)
Suatu Negara harus memiliki tiga unsur
penting, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah. Ketiga unsur ini oleh Mahfud
M.D disebut sebagai unsur konstitutif. Tiga unsur ini perlu ditunjang dengan
unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan pengakuan dunia internasional yang
oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif.
Unsur-unsur pokok dalam negara:
1)
Rakyat
Rakyat dalam
pengertian keberadaan suatu Negara adalah sekumpulan manusia yang dipersatukan
oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Tidak
bisa dibayangkan jika ada suatu Negara tanpa rakyat. Hal ini mengingat rakyat
atau warga Negara adalah subtratum personel dari Negara.
2)
Wilayah
Wilayah adalah
unsur negara yang harus dipenuhi karena tidak mungkin ada Negara tanpa ada
batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum wilayah dalam sebuah Negara
biasanya mencakup daratan, perairan (samudra, laut, dan sungai), dan udara.
Dalam konsep Negara modern masing-masing batas wilayah tersebut diatur dalam
perjanjian dan perundang-undangan Internasional.
3)
Pemerintah
Pemerintah
adalah alat kelengkapan Negara yang bertugas memimpin organisasi Negara untuk mencapai tujuan bersama
didirikan nya sebuah Negara. Pemerintah, melalalui aparat dan alat-alat Negara,
yang menetapkan hukum, melaksanakankan ketertiban dan keamanan, mengadakan
perdamaian dan lain dalam rangka mewujudkan kepentingan warga Negara yang
beragam. Dan mewujudkan cita-cita bersama tersebut di jumpai bentuk-bentuk
Negara dan pemerintah. Pada umumnya, nama sebuah Negara identik dengan model
pemerintahan yang dijalaninya misalnya, Negara Demokrasi yang pemerintahannya
sistem parlementer atau presidensial. Keyiga unsur ini dilengkapi dengan unsur
Negara lainnya, konstitusi.
4)
Pengakuan Negara Lain
Unsur pengakuan
dari negara lain hanya bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini
hanya bersifat deklaratif, bukan konstitutif, sehinga tidak bersifat mutlak.
Ada dua macam pengakuan negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de
jure. Pengakuan de facto ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan tersebut
didasarkan atas adanya fakta bahwan
adanya suatu masyarakat politik telah memenuhi tiga unsur utama negara
(wilayah, rakyat dan pemerintah yang berdaulat ). Sedangkan pengakuan de
jure merupakan pengakuan akan sahnya suatau negara atas dasar pertimbangan
yuridis atas hukum. Dengan perolehan pengakuan de jure, maka suatu
negara mendapatkan hak nya di samping
kewajiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban di maksud
adalah hak dan kewajiban bertindak dan di berlakukan sebagai suatu negara yang
berdaulat penuh di antara negara-negara lain.
f.
Bentuk-bentuk Negara (Ubaidillah.
A., Abdul Rozak, 2010, hlm. 85)
Negara
memiliki bentuk yang berbeda –beda. Secara umum dalam konsep dan teori modern,
negara terbagi ke dalam dua bentuk: Negara kesatuan (Unitarianisme) dan Negara
Serikat (federasi).
1)
Negara Kesatuan
Negara
kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu
pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun dalam
pelaksanaanya , negara kesatuan ini tebagi dalam dua macam sistem pemerintah :
sentral dan otonomi.
a)
Negara kesatuan dengan sistem
sentralisasi adalah sistem pemerintah
yang langsung di pimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di
bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Model pemerintah Orde baru di bawah pemerintah presiden
soeharto adalah salah satu contoh sistem pemerintah model ini .
b)
Negara kesatruan dengan sistem
desentralisasi adalah kepala daerah di berikan kesempatan dan kewenangan untuk
mengurus urudan pemerintah di wilayah
sendiri. Sistem ini di kenal dengan sistem otonomi daerah atau swatantra.
Sistem pemerintah negara malaisya dan pemerintah pasca orde baru di Indonesia
dengan sistem otonomi khusus dapat di masukan ke dalam model ini.
(1)
Negara Serikat
Negara serikat
atau federasi merupakan bentuk negara
gabungan yang terdiri dari beberapa negara bagian dari seluruh negara serikat.
Pada mulanya negara-negara bagian tersebut merupakan negara yang
merdeka,berdaulat,dan, berdiri sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan
negara serikat, dengan sendirirnya negara tersebut melepaskan sebagian diri
kekuasaanya dan menyerahkanya kepada negara serikat.
Di samping dua bentuk ini, dari sisi
peleksanaan dan mekanisme pemilihanya, bentuk negara dapat di golongkan
kedalam tiga kelompok : Monarki,
Oligarki, dan Demokrasi.
(a)
Monarki
Pemerintahan
manorki adalah model pemerintah yang di
kepalai oleh raja atau ratu. Dlam peraktiknya, Monarki memeiliki dua jenis :
monarki absolute dan monarki
constitutional. Monarki absolute adalah model pemerintah dengan kekuasaan
tertinggi di tangan satu oaring raja atau ratu. Termasuk dalam kategori ini
adalah Arab Saudi . sedangkan, monarki constitutional adalah bentuk
pemerintahan yang kekeuasaan kepala pemerintahanya (pedana menteri) di batasi
oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara. Praktik monarki konstitusional ini
adalah yang paling banyak di praktikan di beberapa negara, seperti Malaysia,
Thailand, Jepang, dan , Inggris. Dalam model manorki constitutional ini,
kedudukan raja hanya sebatas symbol
negara.
(b)
Oligarki
Model
pemerintahan oligarki adalah pemerintah yang jalankan oleh beberapa orang
yangberkuasa dari golongan atau kelompok tertentu.
(c)
Demokrasi
Pemerintahan
model demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan
rakyat atau mendasarkan kekuasaanya pada pilihan dan kehendak rakyat melalui
mekanisme pemilihan umum( pemilu).
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa
Sanskerta, āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk
menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan
berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali".
Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
a.
Prinsip-prinsip Good and Clean
Governance
Untuk
merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada
prinsip-prinsip good governance, Lembaga Administrasi Negara (LAN)
merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam good governance yang
harus diperhatikan yaitu :
1)
Partisipasi (participation)
Asas
partisipasi adalah bentuk keikutsertaan warga masyarakat dalam
pengambilan keputusan, baik langsung mauun melalui lembaga perwakilan yang sah
yang mewakili kepentingan mereka. Bentuk partisipasi menyeluruh terssebut
dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat secarakonstruktif. Untuk mendorong partisipasi
masyarakat dalam seluruh aspepembangunan, termasuk dalam sektor-sektor
kehidupan sosal lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus
diminimalisasi.
Paradigma
birokrasi sebagai pusat pelayannan publik seyogyanya dikuti dengan deregulasi
berbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif
dan efisien.
2)
Penegakan Hukum
Asas penegakan
hukum adalah pengelolaan pemerintahan yang profesional harus didukung oleh
penegakan hukum yang berwibawa. Tanpa ditopang oleh sbuah aturan hukum dan
penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi
tindakan publik yang anarkis. Publik membutuhkan ketegasan dan kepastian hukum.
Tanpa kepastian dan aturan hukum, proses politik tidak akan berjalan dan
bertata dengan baik.
Sehubugan
dengan hal tersebut, realisasi good and clean governance, harus
diimbangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakan hukum yang mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a)
Supremasi hukum (Supremasi of
law)
b)
Kepastian hukum (legal certainty)
c)
Hukum yang responsif
d)
Penegakan hukum yang konsiten dan
nondiskriminatif
e)
Independensi peradilan
3)
Transparasi
Asas transparasi adalh unsur lain yang
menopang terwujudnya good and clean
governance. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan budaya
korupsi dikalangan pelaksana pemerintah baik pusat maupun yang dibawahnya.
Dalam pengelolaan negara terdapat delapan (8)
unsr yang haru dilakukan secara ransparan, yaitu:
a)
Penetapan posisi, jabatan, atau
kedudukan.
b)
Kekayaan pejabat publik.
c)
Pemberian pengargaan.
d)
Penetapan kebijakan yang terkait
dengan pencerahan kehidupan.
e)
Kesehatan.
f)
Moralitas para pejabat dan aparatur
pelayanan publik.
g)
Keamanan dan ketertiban.
h)
Kebijakan straegis untuk pencerahan
kehidupan masyarakat.
4)
Responsif
Asas responsif
adalah dalam pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean governance bahwa
pemerinah harus tanggap terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sesuai dengan
asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etika, yakni etika
individual dan etika sosial. Kualifikasi etika individual menntut pelaksanaan
birokrasi pemerintah agar memliki kriteria kapablitas dan loyalitas
profesional. Sedangkan etika sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas
terhadap berbagai kebutuhan publik.
5)
Konsensus
Asas konsensus
adalah bahwa keputusan apa pun harus dilakukan melalui prses musyawarah melalui
konsensus. Cara pengambilan keputusan konsensus, selain dapat memuaskan semua
pihak atau sebagian besar pihak, cara ini akan mengikatsebagian besar komponen
yang bermusyawarah dan memiliki kekuatan memaksa (coersive power) terhadap
emua yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut.
6)
Kesetaraan
Asas kesetaraan (equity)
adalah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini mengharuskan
setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku adil dalam hal
pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku, jenis kelamin, dan
kelas sosial.
7)
Efektivitas dan Efisiensi
Untuk menunjang asas-asas yang teah disebutkan
diatas, pemeintahan yang baik dan bersih juga harus memenuhi kriteria efektif
dan efisien, yakni berdaya guna dan berhasil guna. Kriteria efektivitas
biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapian sosial.
8)
Akuntabilitas
9)
Visi Strategis
b.
Islam dan Negara Orde Baru: Dari
Antagonistik ke Akomodatif (Ubaedillah A. dan Abdul Rozak, 2010, hlm. 101-102)
Naiknya Presiden Suharto melahirkan babak baru
hubungan Islam dan Negara di Indonesia. Menurut Imam Aziz, pola hubungan antara
keduanya secara umum dapat digolongkan menjadi dua (2) pola: antagonistik dan
akomodatif. Hubungan antagonistik merupakan sifat hubungan yang mencirikan
adanya ketegangan antara Islam dan negara Orde Baru; sedangkan akomodatif
menunjukkan kecenderungan saling membutuhkan antara kelompok Islam dan negara
Orde Baru, bahkan terdapat kesamaan untuk mengurangi konflik antara keduannya.
Hubungan antagonis antara negara Orde Baru
dengan kelompok Islam dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan
Islam yang berlebihan yang dilakukan presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan
kelanjutan dari sikap kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok islam,
khususnya di era 1950-an. Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan islam
membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan
melakukan domestikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak politik islam, baik
pada orde lama maupun orde baru. Hasil dari kebijakan ini, bukan saja para
pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai
ideologi dan/atau agama negara (pada 1945 dan dekade 1950-an), atau biasa
disebut kelompok politik “minoritas” atau “outsider”. Menurut Bahtiar Effendy,
politik Islam sering dicurigai oleh negara sebagai anti-ideologi negara
pancasila.
Menurut Effendy, akar antagonisme hubungan
politik antara Islam dan negara dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan
pemahaman keagamaan umat Islam yang berbeda. Kecenderungan menggunakan Islam
sebagai simbol politik di awal kekuasaan orde baru telah melahirkan kecurigaan
dari pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik
nasional. Kebijakan politik kontrol dan represif terhadap kekuatan politik
Islam mewarnai arah dan kecenderungan politik orde baru. Kecenderungan politik
keamanan yang dilakukan orde baru dapat ditandai pada sejumlah peristiwa
kekerasan negara atas kelompok Islam di era 1980-an yang dianggap sebagai
penentang asas tunggal pancasila ciptaan Orde Baru. Kekerasan politik dan
peminggiran Islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rezim orde baru
atas kekuatan Islam melahirkan kesimpulan sifat antagonistik hubungan Islam dan
negara orde baru. Sejak awal berdirinya orde baru hingga awal 1980-an Islam
dianggap sebagai ancaman serius bagi keberlangsungan kekuasaan orde baru.
Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan
hubungan Islam dan rezim orde baru. Hal ini ditandai lahirnya kebijakan-kebijakan
politik presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam. Menurut
Effendi, kebijakan-kebijakan orde baru memiliki dampak luas bagi perkembangan
politik Islam baik struktural maupun kultural.
Kecenderungan akomodasi negara terhadap islam
menurut Affan Gaffar ditandai, adanya kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan dan keagamaan dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri.
Pemerintah mulai menyadari akan potensi Umat Islam sebagai kekuatan politik
yang potensial. Sedangkan menurut Thaba, sikap akomodatif negara terhadap Islam
lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap perubahan sikpa politik umat
Islam terhadap kebijakan negara terhadap perubahan sikap politik umat Islam
terhadap kebijakan negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan
asas tunggal Pancasila. Perubahan sikap umat Islam pada paruh kedua 1980-an,
dari menentang menjadi menerima Pancasila sebagai sat8u-satunya asas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara bersirnergi dengan sejumlah kebijakan Orde
Baru yang menguntungkan umat Islam pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan
RUU peradilan Agama, pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi muslim di sekolah
umum, kemunculan organisasi Ikatak Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan
lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh
Presiden Soeharto merupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan
elite penguasa Orde Baru terhadap Islam.
c.
Islam dan Negara: Bersama Membangun
Demokrasi dan Mencegah Disintegrasi Bangsa (Ubaedillah A. dan Abdul Rozak,
2010, hlm. 102-105)
Peran agama, khususnya Islam, di Indonesia
sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi saat ini. Pada saatyang
sama Islam dapat berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang
pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleran terhadap kodrat kemajemukan
Indonesia. Sebaliknya, jika ummat Islam bersikap eksklusif dan cenderung
memaksakan kehendak, dengan alasan mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan
ummat Islam akan lebih berpotensi menjelma sebagai ancaman disintegrasi
daripada kekuatan integratif bangsa.
Namun demikian, negara pun berpotensi menjadi
ancaman bagi proses demokrasi jika ia tampil sebagai kekuatan represif dan
mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Lahirnya kekuatan
demokrasi yang diperankan oleh berbagai komponen masyarakat madani di
Indonesia, seperti LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa,
pers, asosiasi profesi dan sebagainya, harus disikapi oleh negara sebagai
instrumen penting dalam sebuah negara demokrasi Indonesia. Keberadaan
elemen-elemen demokrasi tersebut terus harus didorong menjadi kekuatan vital
bagi proses demokratisasi di Indonesia dan penjaga kebhinekaan dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis
antara agama dan negara di Indonesia, kedua komponen Indonesia tersebut
seyogyanya mengedepankan cara-cara dialogis manakala terjadi perselisihan
pandangan antara kelompok masyarakat sipil dengan negara. Untuk menopang proses
demokratisasi negara sebagai komponen penting di dalamnya harus menyediakan
fasilitas demokrasi seperti kebebasan pers, kebebasan berorganisasi, kebebasan
berbicara dan mengluarakan pendapat serta peningkatan fasiltas umum maupun
kawasan publik bebas (free public sphere) untuk memfasilitasi beragam opini
warga negara.
Pada saat yang bersamaan, unsur-unsur
masyarakat sipil di atas dituntut untuk bertanggung jawab dalam menggunakan
hak-hak kebebasannya secara santun dan beradab. Perilaku santun dalam
berdemokrasi dapatdiwujudkan melalui sikap menghindarkan diri dari tindakan
main hakim sendiri, lebih-lebih dengan mengatasnamakan agama, kelompok. maupun
partai politik tertentu, sekadar untuk memaksakan kehendak-nya atas nama
individu maupun kelompok lain. Searah dengan tuntutan kedewasaan mengungkapkan
pendapat di kalangan komunitas agama, peranan pers dan kelompok intelektual
(pelajar, mahasiswa, ormas dan orpol) dalam menyuarakan pendapat publik secara
santun, seimbang danjujur adalah mutlak dalam praktik berdemokrasi.
Tindakan main hakim sendiri sangatlah
berlawanan dengan prinsip demokrasi yang lebih mengedepankan cara-cara
musyawarah atau menyerahkan segala sengketa hukum antarwarganegara maupun
antara warganegara dengan negara kepada lembaga hukum. Sikap mengancam atau
merusak fasilitas umum dalam mengeluarkan pendapat, lebih-lebihmenggantikan
peran penegak hukum atau melakukan tindakan teror terhadap aparat hukum dalam
upaya pencarian keadilan, sama sekali bertentangan dengan semangat penegakan
demokrasi dan keseimbangan hak dan kewajiban warga negara dalam negara
Indonesia.
Dengan ungkapan lain, negara dan agama,
melalui kekuatan masyarakat sipilnya, adalah dua komponen utama dalam proses membangun
demokrasi di Indonesia yang berkeadaban. Membangun demokrasi adalah proses
membangun kepercayaan (trust) diantara sesama warga negara maupun antara warga
negara dan negara. Demokrasi yang dicita-citakan para pendiri bangsa Indonesia
adalah tidak sekedar kebebasan tanpa batas, tetapi kebebasan yang
bertanggungjawab. Agama, seperti diyakini oleh pemeluknya, banyak memberikan
ajaran moral tentang tanggungjawab individu dan sosial.
3.
Studi Kasus
Pada saat menjelang ramadhan idul fitri
masyarakat indonesia merasa di resahkan oleh pemerintah yang tidak cepat dan
tegas mengambil keputusan penentuan
hilal. Bagaimana kita sebagai warga negara yang baik menyikapi masalah
penentuan awal ramadhan maupun 1 syawal agar tidak terjadi perselisihan antar
golongan umat dan terlebih kita sebagai warga negara Indonesia yang memiliki
cita-cita bersama bersatu demi kesejahteraan umum tanpa melangar hak asasi
manusia?
Metode penyelesaiaan kasus:
a.
Peserta diskusi di bagi menjadi 5
kelompok
b.
Setiap kelompok terdiri dari 6-8
peserta
c.
Masing-masing kelompok di beri
waktu 10 menit untuk berdiskusi
d.
Setiap kelompok menyampaikan hasil
diskusi
e.
Kelompok lain saling menanggapi
f.
Kesimpulan
4.
Pertanyaan
a.
Sebutkan dan jelaskan teori terbentuknya
negara!
b.
Jelaskan hubungan Islam dan negara
modern secara teoritis!
c.
Jelaskan peran Agama dalam
membangun demokrasi dan mencegah disintegrasi bangsa!
C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu
wilayah yang merupakan alat untuk mengatur hubungan- hubungan individu serta
menetapkan tujuan hidup bersama dalam wilayah tersebut.
Sedangkan secara
umum agama diartikan sesuai dengan pengalaman dan penghayatan individu terhadap
agama yang di anutnya agama adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
hukum hukum yang diwahyuhkan kepada utusannya agar penganutnya bias hidup
bahagia dunia akhirat.
Ada beberapa pandangan tentang hubungan agama
dan negara diantaranya: integralistik, simbiotik, dan sekularistik yang
kesemuanya itu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Namun
sebagian besar memiliki pandangan bahwa agama dan negara merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dan saling membutuhkan. Dalam hal ini, politik atau
negara sebagai alat bagi agama dalam menyampaikan risalah-risalahnya. Akan tetapi,
politik sama sekali bukanlah satu-satunya aspek penting dalam perjuangan
umat islam.
DAFTAR PUSAKA
Samidjo, 1986.
Ilmu Negara, Bandung: Armiko.
Ubaidillah. A., Abdul Rozak, 2010. DEMOKRASI,
Hak Asasi Manusi, & Masyarakat Madani, Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.
Agan, Sulaiman. http://fisipunsil.blogspot.com/2013/05/asal-mula-terjadinya-negara.html,
27 September 2013 at 14.44 WIB.
http://cuapcuaplaila.blogspot.com/2011/03/tugas-dan-materi-pendidikan.html,
27 sep 2013 at 20.12 WIB.
http://herrypkn.blogspot.com/2012/07/pengertian-fungsi-dan-tujuan-negara_31.html,
27 September 2013 at 14.24 WIB.
http://dedisetiawan.com/pengertian-negara-beserta-tujuan-dan-fungsinya/,
27 September 2013 at 14.19 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar